1.
Kelembagaan petani dancakupanya (Permentan NO. 67
Tahun 2016)
A.
Kelembagaan
Petani adalah lembaga yang ditumbuhkembangkan dari, oleh, dan untuk petani guna
memperkuat dan memperjuangkan kepentingan petani, mencakup Kelompok Tani,
Gabungan Kelompok Tani, Asosiasi Komoditas Pertanian, dan Dewan Komoditas
Pertanian Nasional.
B.
Kelompok
Tani yang selanjutnya disebut Poktan adalah kumpulan petani/peternak/pekebun
yang dibentuk oleh para petani atas dasar kesamaan kepentingan, kesamaan
kondisi lingkungan sosial, ekonomi, dan sumberdaya, kesamaan komoditas, dan
keakraban untuk meningkatkan dan mengembangkan usaha anggota.
C.
Klasifikasi
Kemampuan Poktan adalah pemeringkatan kemampuan Poktan ke dalam 4 (empat)
kategori yang terdiri dari: Kelas Pemula, Kelas Lanjut, Kelas Madya dan Kelas
Utama yang penilaiannya berdasarkan kemampuan Poktan.
D.
Gabungan
Kelompok Tani yang selanjutnya disebut Gapoktan adalah kumpulan beberapa
Kelompok Tani yang bergabung dan bekerjasama untuk meningkatkan skala ekonomi
dan efisiensi usaha.
E.
Kelembagaan
Ekonomi Petani adalah lembaga yang melaksanakan kegiatan usahatani yang
dibentuk oleh, dari, dan untuk petani, guna meningkatkan produktivitas dan
efisiensi usahatani, baik yang berbadan hukum maupun yang belum berbadan hukum.
F.
Asosiasi
Komoditas Pertanian adalah kumpulan dari petani, Kelompok Tani, dan/atau Gabungan
Kelompok Tani yang mengusahakan komoditas sejenis untuk memperjuangkan
kepentingan petani.
G.
Dewan
Komoditas Pertanian Nasional adalah suatu lembaga yang beranggotakan Asosiasi
Komoditas Pertanian untuk memperjuangkan kepentingan petani.
Permentan no 67 thn 2016
2.
Lembaga, Organisasi, dan Kelembagaan
Pengertian lembaga menurut Macmillan
adalah seperangkat hubungan norma-norma, keyakinan-keyakinan, dan nilai-nilai
nyata, yang terpusat pada kebutuhan sosial dan serangkaian tindakan yang
penting dan berulang.
Pengertian lembaga menurut Kartodiharjo et al adalah
instrument yang mengatur hubungan antar individu. Lembaga juga berarti
seperangkat ketentuan yang mengatur masyarakat yang telah mendefinisikan bentuk
aktifitas yang dapat dilakukan oleh pihak tertentu terhadap pihak lainnya, hak
istimewa yang telah diberikan serta tanggungjawab yang harus dilakukan.
Organisasi adalah
suatu unit sosial (pengelompokan sosial) yang sengaja dibentuk dan dibentuk
kembali dengan penuh pertimbangan dalam rangka mencapai tujuan tertentu merupakan sesuatu yang abstrak,
sulit dilihat namun bisa dirasakan eksistensinya.
Secara umum, definisi organisasi
merupakan rangkaian kegiatan kerjasama yang dilakukan beberapa orang dalam
upaya mencapai tujuan yang ditetapkan. Peter M. Blau & W. Richard
Scott mendefinisikan bahwa organisasi itu memiliki tujuan dan memiliki sesuatu
yang formal, ada administrasi staf yang biasanya eksis dan bertanggung jawab
serta adanya koordinasi dalam melaksanakan kegiatan anggotanya.
menurut Ostrom, (1985-1986)
kelembagaan diidentikan dengan aturan dan rambu-rambu sebagai panduan yang
dipakai oleh para anggota suatu kelompok masyarakat untuk mengatur hubungan
yang saling mengikat atau saling tergantung satu sama lain.
Djogo Dkk, menyimpulkan dan mendefinisikan
kelembagaan sebagai suatu tatanan dan pola hubungan antara anggota masyarakat
atau organisasi yang saling mengikat yang dapat menentukan bentuk hubungan
antar manusia atau antar organisasi yang diwadahi dalam suatu organisasi atau
jaringan dan ditentukan oleh faktor-faktor pembatas dan pengikat berupa norma,
kode etik atauran formal maupun informal untuk pengendalian perilaku sosial
serta insentif untuk bekerjasama dan mencapai tujuan bersama.
3.
Lembaga dan aspek – aspeknya berdasarkan paham
kelembagaan baru
Menurut Scott (2008: 36), teori
kelembagaan baru (neoinstitutional theory) adalah tentang bagaimana menggunakan
pendekatan kelembagaan baru dalam mempelajari sosiologi organisasi. Akar
teoritisnya berasal dari teori kognitif, teori kultural, serta fenomenologi dan
etnometodologi. Ada 3 elemen analisis yang membangun kelembagaan walau
kadang-kadang ada yang dominan, tapi mereka berkerja dalam kombinasi. Ketiganya
datang dari perbedaan cara pandang terhadap sifat realitas sosial dan
keteraturan sosial dalam tradisi sosiologi sebelumnya. Ketiga elemen tersebut
adalah aspek regulatif, aspek normatif, dan aspek kultural-cognitif..
Lebih jauh, Scott (2008) menjelaskan tentang adanya
3 pilar dalam perspektif kelembagaan baru. Pertama, pilar regulatif (regulative
pillar), yang berkerja pada konteks aturan (rule setting), monitoring, dan
sanksi. Hal ini berkaitan dengan kapasitas untuk menegakkan aturan, serta
memberikan reward and punishment. Cara penegakkannya melalui mekanisme informal
(folkways) dan formal (polisi dan pengeadilan). Meskipun ia bekerja melalui
represi dan pembatasan (constraint), namun disadari bahwa kelembagaan dapat
memberikan batasan sekaligus kesempatan (empower) terhadap aktor.Aktor yang
berada dalam konteks ini dipandang akan memaksimalkan keuntungan, karena itulah
kelembagaan ini disebut pula dengan kelembagaan regulatif (regualtive
institution) dan kelembagaan pilihan rasional (rational choice instituion).
Kedua, pilar normatif (normative pillar) dengan
tokohnya adalah Durkheim, Parson, dan Selznick. Dalam pandangan ini, norma
menghasilkan preskripsi, bersifat evaluatif, dan menegaskan tanggung jawab
dalam kehidupan sosial. Dalam pilar ini dicakup nilai (value) dan norma. Norma
berguna untuk memberi pedoman pada aktor apa tujuannya (goal dan objectives),
serta bagaimana cara mencapainya. Karena itu, bagian ini sering pula disebut
dengan kelembagaan normatif (normatif institution) dan kelembagaan historis
(historical instituionalism). Inilah pula yang sering disebut sebagai teori ”kelembagaan
yang asli”.
Ketiga, pilar kultural-kognitif (cultural-cognitive
pillar) dengan tokohnya adalah Geertz, Douglass, Berger dan Luckmann, Goffman,
Meyer, DiMaggio, Powel, dan juga Scott. Inti dari pilar ini adalah bahwa
manusia berperilaku sangat ditentukan oleh bagaimana ia memaknai (meaning)
dunia dan lingkungannya. Manusia mengalami sedimentasi makna dan kristalisasi
makna dalam bentuk objektif. Aktor (individu dan organisasi) mengalami proses
interpretatif internal yang dibentuk oleh kerangka kultural eksternal, dalam
memaknai lingkungan sebagai situation shared secara kolektif. Dalam konteks
ini, diyakini aktor memiliki makna yang sangat variatif, sehingga kreativitas
aktor dihargai. Bagian ini sering disebut dengan kelembagaan sosial (social institution).
4.
Perbedaan antara organisasi dan kelembagaan
Terlalu banyak orang yang mencampuradukkan
pengertian dan pemahaman tentang kelembagaan (institution) dan organisasi
(organization/institute). Karena itu begitu banyak pula orang atau badan
pelaksana pembangunan yang menyatakan akan melakukan “pengembangan kelembagaan”
tetapi ternyata (yang dilakukan) hanyalah membentuk satu organisasi baru di
komunitas dalam rangka proyek itu.
Kekeliruan pemahaman seperti ini telah menjadi
sangat umum sehingga organisasi dan kelembagaan juga dimengerti secara “salah
kaprah” di mana-mana. Hal ini pulalah yang mengakibatkan pengembangan
kelembagaan diterjemahkan secara salah kaprah menjadi pembentukan organisasi.
Berulangkali kekeliruan ini dilakukan oleh badan-badan dan organisasi pelaksana
pembangunan (baik lembaga donor, pemerintah, maupun lembaga swadaya
masyarakat), terutama dalam pelaksanaan pembangunan yang berhubungan langsung
dengan suatu warga
Kenyataannya,
setelah sekian puluh tahun, ternyata tidak ada ketahanan apapun yang telah
terlembagakan di masyarakat desa/kelurahan. Krisis ekonomi yang terjadi
sejak pertengahan tahun 1997 yang memporakporandakan ketahanan masyarakat baik
di perdesaan maupun di perkotaan telah menjadi bukti paling sahih betapa
pembentukan organisasi LKMD/LMD telah menjadi instrumen yang keliru dalam
rangka mengembangkan kelembagaan ketahanan masyarakat desa --termasuk di
dalamnya ketahanan ekonomi.
Dalam konteks Pengembangan Kelembagaan, hal yang
seharusnya dilakukan sedikitnya harus mencakup upaya memberikan pemahaman yang
benar terhadap istilah organisasi (organization/institute), kelembagaan
(institution), dan juga pelembagaan atau melembagakan (institutionalization/
institutionalizing).
Norman
T. Uphoff, salah seorang penggagas People-Centered Development Forum mengajukan
definisi sederhana yang membedakan antara organisasi (organization) dengan
kelembagaan (institution) sebagai berikut :
Organizations are
structures of recognised and acceptes roles.Institutions are complexes of norms
and behaviours that persist over time by serving collectively (socially) valued
purposed.
(Organisasi adalah struktur peran yang telah dikenal
dan diterima. Kelembagaan/pranata adalah serangkaian norma dan perilaku
yang sudah bertahan –atau digunakan-- selama periode waktu tertentu --yang
relatif lama-- untuk mencapai maksud/tujuan bernilai kolektif/ bersama atau
maksud-maksud yang bernilai sosia.)
Ada beberapa tipe kelembagaan (pranata). Ada
kelembagaan yang bukan organisasi (institutions that are not organizations),
ada kelembagaan yang juga merupakan organisasi (institutions that are
organizations), dan organisasi yang bukan kelembagaan (organizations that are not institutions).
Ahli
|
Norma
|
Waktu
|
Tujuan
|
Kemungkinan Pengembangan
|
Uphoff
|
Merupakan serangkaian norma
|
Memerlukan waktu yang cukup panjang
|
Memiliki tujuan bersama
|
Bila memiliki organisasi formal atau organisasi yang potensial
|
Martindale
|
Pola hubungan tingkah laku manusia dalam kelompok
|
-
|
Memenuhi kebutuhan suatu organisasi
|
Dapat dikembangkan
|
Taneko
|
Pola-pola yang
memiliki kekuatan tetap |
Memerlukan cukup waktu
|
Memenuhi kebutuhan kelompok
|
-
|
Hendro Puspito
|
Organisasi yang tersusun dari pola-pola kelakuan, peranan dan hubungan
|
Memerlukan waktu untuk memadukan kepentingan sebagai bentuk cara hidup
dan bertindak yang mengikat
|
Memenuhi kebutuhan sosial dasar
|
Dapat dikembangkan walaupun sangat lambat, karena pola kelakuan dan
peranan itu tidak mudah berubah
|
5. Unsur – unsur penting dalam kelembagaan
Kelembagaan berisikan dua aspek penting yaitu;
“aspek kelembagaan” dan “aspek keorganisasian”. Aspek kelembagaan meliputi perilaku atau perilaku social dimana inti
kajiannya adalah tentang nilai (value), norma (norm), custom,
mores, folkways, usage, kepercayaan, gagasan, doktrin, keinginan,
kebutuhan, orientasi dan lain-lain.
Bentuk perubahan social dalam aspek kelembagaan
bersifat kultural dan proses perubahannya membutuhkan waktu yang lama.
Sementara dalam aspek keorganisasian meliputi struktur atau struktur social
dengan inti kajiannya terletak pada aspek peran (role). Lebih jauh aspek
structural mencakup: peran, aktivitas, hubungan antar peran, integrasi social,
struktur umum, perbandingan struktur tekstural dengan struktur factual,
struktur kewenangan atau kekuasaan, hubungan antar kegiatan dengan tujuan yang
hendak dicapai, aspek solidaritas, klik, profil dan pola kekuasaan. Bentuk
perubahan social dalam aspek keorganisasian bersifat structural dan berlangsung
relative cepat.
6.
Hakikat
pengorganisasian petanibdam upaya untuk menjalankan tindakan kolektif
Menggunakan pendekatan kelembagaan baru
Pengorganisasian petani pada hakikatnya merupakan
upaya untuk menjalankan tindakan kkolektif, dalam keyakianan bahwa tindakan
kolektif lebih murah dan efektif. untuk mewujudkan tindakan kolekyif dibutuhkan
daya kohesi, relasi sosial yang stabil, adanya hirarki, dan saling percaya
dalam relasi yang saling tergantung, (beard dan dasgupta, 2006). agar tindakan
kolektif berjalan, maka harus dapat ditemukan cara untuk memotivasi individu
agar mau melibatkan diri. untuk itu dibutuhkan struktur yang memobilisasi agar
tindakan kolektif berjalan (king, 2008). organisasi hanya salah satu wadah
dalam menjalankan tidakan kolektif. tanpa organisasi sekalipun tindakan
kolektif masih dapat dijalankan, (davis dkk, 2009). tindakan kolektif yang
selama ini gagal dijalankan dalam organisasi-organisasi formal petani
dinindonesia, tampaknya disebabkan karena petani-petani telah memiliki berbagai
relasi sebagai sandaran untuk menjalankan berbagai tindakan kolektif, dimana
relasi-relasi tersebut berada diluar organisasi-oraganisasi formal. mereka
enggan berorganisasi karena kompensasi yang diterima tidak sebanding dengan
peningkatan pendapatan yang mereka peroleh, (hellin dkk, 2007). perilaku
demikian didasari oleh rasionalitas tersendiri .
petani
mempunyai rasionalitas sendiri tentang kebutuhan dan kepentingannya yang secara
replektif dimunculkan dlam tindakan-tindakan individual mereka (taufik, 2007).
untuk menjadi itndakan kolektif sangat memerlukan kondisi-kondisi tertentu
dimana para petnai menurut kepentingan2 individualnya merasa perlu
mengalokasikan sumber daya mereka untuk kepentingan bersama. pengorganisasian
dengan demikian adalah proses panjang pengelolaan kesadara dan mepentingan
petani sebagai kelompok kekuatan
5
prinsip pengembangan keorganisasian usaha petani yang perlu diperhatikan antara
lain"
a. pemerintah, harus mempertimbangkan bahwa organisasi
formal bagi petani hanya sebuah opsi bukan keharusan yang kuat
b. pengembangan organisasi tidak lagi terikat pada
egosubsektor dan keproyekan sehingga tidak harus satu kegiatan diwadahi dalam
satu organisasi tersendiri
c. organisasi hanyalah alat bukan tujuan
d. petani sepantasnya dihargai sebagai individu yang
rasional, sehingga pemerintah harus meyakini bahwa mereka dapat dan mampu
memutuskan apa yang baik bagi dirinya termasuk dalam berorganisasi
e. bentuk keorganisasian yang ditawarkan kepada petani
sebaiknya adalah yang mampu memperkuat relasi vertikal petani dan pelaku
pertanian lain.
7.
Faktor-faktor yang menentukan keberhasilan dalam
kebijakan dan manajemen
Pengembangan usaha tani Keberhasilan dalam pelaksanaan
sebuah kebijakan pada dasarnya dipengaruhi oleh banyak faktor, baik yang berasal dari dalam (internal) maupun
dari luar (eksternal) dari kebijakan itu sendiri. Dalam hal ini para ahli
mengemukakan pendapat yang berbeda-beda tentang faktor-faktor yang menentukan
keberhasilan dalam sebuah kebijakan. Berdasarkan uraian di atas, maka terdapat
beberapa faktor yang menentukan keberhasilan dalam kebijakan pengembangan usaha
tani di Kabupaten Gorontalo meliputi faktor-faktor internal dan eksternal.
Deskripsi faktor-faktor internal dan eksternal
tersebut adalah:
1.
Faktor internal,
Faktor-faktor yang berada di dalam (internal) aparat
pelaksana kebijakan, yang meliputi : a. Komunikasi yaitu kemampuan aparat
pelaksana untuk memahami dan menyampaikan semua aturan dan petunjuk pelaksanaan
pekerjaan kepada semua aparat pelaksana sampai ke tingkat bawah (masyarakat
petani). Dalam hal ini diperlukan kerjasama dan koordinasi terhadap setiap
langkah program yang dilaksanakan. Setiap aparat pelaksana harus
mengintegrasikan pelaksanaan tugas masing-masing bidang dengan pencapaian
tujuan program, sehingga nantinya ditemukan kesatuan gerak langkah dalam
melaksanakan kebijakan pengembangan
usaha tani sampai ke tingkat masyarakat
penerima bantuan. b. Sumberdaya yaitu ketersediaan staf pelaksana yang cukup
dan memiliki kompetensi yang dibutuhkan dalam pelaksanaan kebijakan. Sumber
daya manusia yang berkualitas yang
ditunjang dengan kemampuan dan
spesialisasi fungsi yang di perlukan untuk melaksanakan setiap pekerjaan, sumber
daya finansial dan dibarengi dengan ketersediaan fasilitas penunjang yang diperlukan
untuk melancarkan tugas dan pekerjaan aparat. Disamping itu perlu diberikan
batas kewenangan yang dimiliki oleh aparat untuk melakukan suatu tindakan yang
diperlukan dalam menjamin pencapaian tujuan kebijakan yang telah ditetapkan. c. Disposisi atau sikap pelaksana yaitu
merupakan komitmen dari aparat pelaksana untuk betul-betul melaksanakan setiap
program yang telah ditetapkan. Aparat pelaksana yang direkrut adalah aparat
yang memiliki kemampuan, pengalaman dan kemauan untuk bekerja keras, sehingga
apapun tantangan yang akan ditemuinya di lapangan diharapkan dapat diatasi
dengan suatu komitmen untuk pencapaian tujuan program. Sebagai konsekwensi dari
hasil pekerjaan yang dilaksanakan, maka perlu ditetapkan pemberian insentif
atau tunjangan sebagai bentuk penghargaan atas pekerjaan yang dilakukan oleh
setiap aparat pelaksana tersebut. Hal ini tentunya semakin mendorong semangat
dan memperkuat komitmen dari aparat pelaksana dalam pelaksanaan kebijakan pengembangan usaha tani
. d. Struktur organisasi yaitu adanya dukungan dari aparatur pemerintah berupa pembagian tugas dan fungsi
sesuai bidang pekerjaan dan disertai dengan penyediaan Standar Operating
Procedure (SOP) yang dapat mendukung pelaksanaan program yang telah ditetapkan.
Dalam hal ini diperlukan pelaksanaan fragmentasi yaitu upaya penyebaran
tanggung jawab di setiap kegiatan atau aktivitas aparat pelaksana dalam
berbagai unit atau bagian sesuai dengan kondisi yang diperlukan dalam menunjang
keberhasilan kebijakan pengembangan
usaha tani.
2.
Faktor eksternal
Faktor-faktor yang berasal dari luar (eksternal)
sasaran kebijakan, yang meliputi :
a. Potensi penduduk dan sumber daya alam. Potensi
penduduk yaitu keseluruhan aspek yang terkait dengan keadaan atau potensi yang
dimiliki oleh penduduk yang meliputi jumlah penduduk, tingkat pendidikan dan
perbandingan usia penduduk yang dapat
digunakan untuk mengembangkan kemampuan penduduk sebagai target/
sasaran program. Sedangkan sumber daya
alam adalah kekayaan alam yang dimiliki oleh masyarakat seperti ketersediaan
lahan pertanian, pengairan dan sumberdaya lainnya yang sangat diperlukan dalam
menunjang pelaksanaan kebijakan pengembangan usaha tani.
b. Kondisi ekonomi dan kemajuan teknologi yaitu berupa
kemajuan yang telah dicapai oleh masyarakat baik dalam bentuk adanya perbaikan
tingkat hidup (ekonomi) masyarakat dan kemajuan teknologi. Hal ini dapat
dilihat dari ketersediaan fasilitas berupa sarana/prasarana jalan dan jembatan,
penggunaan alat transportasi, komunikasi dan adanya pertumbuhan ekonomi melalui
kegiatan perdagangan hasil-hasil
bumi/pertanian dan peternakan yang pada dasarnya turut menentukan keberhasilan
dalam kebijakan pengembangan usaha tani.
c. Budaya
lokal. Budaya adalah pikiran dan akal budi. Orang atau masyarakat
berbudaya artinya masyarakat yang mempunyai pikiran atau akal budi untuk
memajukan diri dan bangsanya (Badudu, 1994). Budaya juga sering diidentikan
dengan sikap, kebiasaan, tingkah laku yang dilakukan bersamasama dan
dikomunikasikan dari satu generasi ke generasi berikutnya. Bentuk budaya yang
ada dalam masyarakat di Gorontalo seperti budaya huyula (gotong royong),
dulohupa (musyawarah), motiayo (sukarela), budaya landingalo (malas) dan
moabalo (malas sekali). Budaya lokal ini biasanya berkembang dan menjadi tradisi
yang berkembang dan mengakar dalam kehidupan masyarakat. d. Dinamika politik
lokal. Dinamika politik adalah suasana politik, keadaan percaturan politik
seperti menjelang pemilihan umum atau pemilihan kepala daerah/desa (Badudu,
1994). Dinamika politik lokal ini biasanya mempengaruhi kehidupan masyarakat di
daerah atau desa. Adanya dukungan/partisipasi
dari masyarakat dalam penyampaian aspirasi politiknya ini akan membawa
pengaruh terhadap pelaksanaan kebijakan. Hal ini ditunjukkan dengan pola
kepemimpinan kepala daerah/desa dan aparatnya yang dapat berpengaruh terhadap
keberhasilan pelaksanaan suatu kebijakan. Biasanya masyarakat memberikan
dukungan terhadap seseorang yang disegani atau dihormati dalam kehidupan
masyarakat setempat, dimana hal ini akan berdampak pada keberhasilan atau
kegagalan suatu kebijakan yang ditempuh oleh pemerintah daerah atau desa
tersebut.
8.
Tahapan dan Proses Pembuatan Keputusan yang Dilakukan
oleh Petani Dalam Berorganisasi
Berkenaan dengan model kerangka pemikiran bagaimana petani
memutuskan untuk menjalankan aktivitas agribisnisnya – apakah akan menjalankan
dalam organisasi atau tidak – digunakan pendekatan kelembagaan baru. Basis
penyusunan model ini datang dari salah satu akar teori kelembagaan yaitu
pilihan rasional (rational choice).
Pendekatan kelembagaan pilihan rasional dipilih karena mampu menerangkan
bagaimana dan mengapa individu dan organisasi terlibat dalam aksi kolektif
sesuai dengan aturan untuk mendapatkan perolehan maksimal dari sumber daya yang
ada (Baxter, 2005: 41-56). Pendekatan ini dipilih karena diyakini lebih mampu
memperbaiki kelemahan dari konsep pilihan rasional yang banyak dikritik karena
keterbatasannya.
Meskipun menggunakan pendekatan “lembaga dan
organisasi”, sebagaimana konsep agen-struktur Giddens dan habitus-field
Bourdieu, aktor dipersepsikan berperilaku sebagaimana ia mempersepsikan konteks
kulturalnya yang mencakup aturan, prosedur, norma, sistem simbol, kognitif, dan
tatanan moral. Ini semua menyediakan kerangka makna bagi aktor sebagai pedoman
dalam berprilaku (Hall and Taylor 1996: 947 dalam Baxter 2005). Konsep dasarnya
adalah bahwa individu akan membuat pilihan sadar, namun akan bekerja dalam
parameter-parameter yang disusun oleh norma-norma sebagaimana ia
menginterpretasikannya. Bagaimana
individu berelasi dengan orang lain dipengaruhi oleh nilai-nilai berkenaan
dengan kekuasaan dan aturan yang ada di masyarakat secara luas. Aktor
menyeleksi sesuai interpretaisnya yaitu “what is feasible, legitimate,
possible, and desirable” pada lingkungan kelembagaan tempat dimana ia berada
(Hay and Wincott 1998: 956 dalam Baxter, 2005).
Teori Pilihan Rasional klasik membicarakan struktur
insentif yang membentuk pilihan individual. Dengan perspektif kelembagaan
sosiologis, kelemahan pendekatan neo-klasik ini diperbaiki dengan
mempertimbangkan bagaimana pengetahuan yang tak disadari (unconscious
cognitive) memberi pola pada perilaku aktor (Baxter, 2005). Sebagaimana
didukung DiMaggio dan Powell (1991), kelembagaan di sosiologi lebih mampu
menyediakan sebuah model yang hidup (model of practical) dibandingkan
pendekatan tindakan rasional yang
cenderung terbatas pada perspektif ekonomi. Individu diyakini membuat keputusan
dalam pola yang sistematis dan bertujuan jelas.
Heikkila and Isett (2004: dalam Baxter, 2005: 56)
telah mengembangkan sebuah model yang menjelaskan dampak beroperasinya lembaga
pada organisasi dengan berbasiskan kelembagaan pilihan rasioanl dan kelembagaan
sosiologis. Menurutnya, pembuatan keputusan tidak akan dapat secara akurat
diterangkan tanpa mempertimbangkan hambatan-hambatan kelembagaan. Model
tersebut menjelaskan bagaimana aktor membuat keputusan dan bagaimana pihak lain
menerima dan konformis terhadap putusan tersebut dalam setting kolektif.
Dalam model ini terdapat empat tahapan dalam pembuatan
keputusan, yaitu mulai dari saat petani menghadapi lingkungan kelembagaan,
melakukan inisiasi pemilihan (initial choices), melakukan penyesuaian kolektif,
dan terakhir mencapai stabilitas tindakan. Pada tahap awal, yaitu saat petani
menghadapi situasi pilihan kelembagaan, dua kondisi utama yang dihadapi adalah
tekanan berorganisasi formal dari pemerintah berhadapan dengan tuntutan
berperilaku yang efisien dan menguntungkan dari pasar. Pada tahap ini, petani memperhitungkan faktor
dalam (endogenous factors) yang merupakan sebuah proses kognitif secara sadar
maupun tidak; dan faktor luar (exogenous factors) berupa aturan, hukum,dan
lingkungan fisik. Lingkungan kelembagaan dari pemerintah misalnya berbentuk
undang- undang, peraturan pemerintah, peraturan menteri, instruksi presiden dan
menteri, serta berbagai program pembangunan yang biasanya dilengkapi dengan
Petunjuk Teknis dan Petunjuk Pelaksanaan.
Tahapan pembuatan keputusan
Pemerintah
Pasar
1. menghadapi
lingkungan kelembagaan
Tekanan regulatif untuk berorganisasi secara formal. Menuntut
perilaku yang efisien dan saling menguntungkan (norma relasi pasar)
2. melakukan inisiasi
pemilihan
Mendapatkan
pilihan-pilihan yang tersedia, dengan menggunakan perspektif normatif dan
regulatif
3. melakukan penyesuaian kolektif
Menentukan pilihan-pilihan yang operasional, sesuai norma, regulasi, dan kognitif dalam hidup berkomunitas
4. mencapai
stabilitas
Menjalankan agribisnis dalam organisasi (formal) atau
tidak (hanya mengandalkan sejumlah relasi individual). Pada tahap yang matang,
terjadi proses pelembagaan
Selanjutnya pada tahap melakukan
inisiasi pemilihan, petani memilih pilihan yang terbaik dengan mempertimbangkan
permasalahan yang dimilikinya, dengan menggunakan perspektif normatif dan regulatif secara bersamaan. Hasil putusan
tersebut, apakah misalnya pilihan untuk
berorganisasi yang dipilih, maka putusan ini menjadi bahan untuk dibicarakan
dengan petani lain. Petani yang memilih untuk berorganisasi secara formal harus
memperjuangkan pilihannya tersebut dengan petani lain, dan harus bisa
meyakinkan petani lain untuk menyetujuinya dalam format persetujuan normatif.
Ini merupakan tahapan yang paling krusial untuk menuju fase stabilitas.
Terakhir, stabilitas terjadi melalui proses adopsi,
dan aturan baru akan tercipta jika sesuai dengan norma. Sebaliknya, jika tidak
kompatibel akan terjadi ketidakstabilan.
Proses pembuatan keputusan ini bergerak ke atas dan ke bawah, dimana
petani sebagai aktor akan aktif mempromosikan pilihannya bahkan pada tahap
kestabilan sekalipun.
9.
Prinsip yang Harus Diperhatikan dalam Pengembangan
Kelembagaan Pedesaan termasuk Gapoktan
Didasarkan atas perkembangan sosiopolitik yang
terjadi, maka pengembangan kelembagaan perlu memperhatikan kecenderungan-kecenderungan
yang semakin menguat, dan jangan hanya memposisikan “kelembagaan sebagai alat
proyek”. Setidaknya perlu diperhatikan tiga aspek dalam pengembangan
kelembagaan, termasuk Gapoktan, yaitu konteks otonomi daerah, pengembangan kelembagaan
sebagai sebuah bentuk pemberdayaan, dan kelembagaan sebagai jalan untuk
mencapai kemandirian lokal. Penyelenggaraan otonomi daerah ditekankan pada dua
aspek yang sesungguhnya merupakan prinsip dasar kemandirian lokal, yaitu
menciptakan ruang bagi masyarakat untuk mengembangkan dirinya, dan mengupayakan
pemberdayaan masyarakat agar mampu memanfaatkan ruang ruang yang tercipta.
Pengembangan Gapoktan sebagai salah satu komponen kelembagaan pedesaan, saling
terkait secara fungsional dengan konsep otonomi daerah, pemberdayaan, dan
kemandirian lokal.
A. Pengembangan kelembagaan dalam konteks otonomi
daerah
RPPK jangan sampai terjebak kembali pada kekeliruan
masa lalu, yang berpedoman pada perencanaan yang bersifat umum dan diterapkan
secara menyeluruh (grand scenario) di seluruh wilayah. Mensosialisasikan
rancangan atau skenario yang bersifat umum akan sulit dilaksanakan dan lebih
banyak bersifat mekanistik dan lepas dari kespesifikan kondisi lokal, akan
mematikan inisiatif masyarakat setempat sehingga menjadi kontraproduktif.
Skenario yang bersifat umum itu, yang pada umumnya disusun dan dipikirkan oleh
sekelompok orang saja secara terpusat, merupakan pendekatan blue print yang
banyak mengandung kelemahan (Uphoff, 1986).
Pedesaan di Indonesia, di samping bervariasi dalam
kemajemukan sistem, nilai, dan budaya; juga memiliki latar belakang sejarah
yang cukup panjang dan beragam pula. Hal ini perlu dicermati dalam memilih
prinsip dasar pengembangan dan pembangunan pedesaan di Indonesia secara
integral. Kelembagaan, termasuk organisasi, dan perangkat-perangkat aturan dan
hukum memerlukan penyesuaian sehingga peluang bagi setiap warga masyarakat
untuk bertindak sebagai aktor dalam pembangunan yang berintikan gerakan dapat
tumbuh di semua bidang kehidupannya. Pembangunan masyarakat pedesaan untuk
menciptakan kehidupan yang demokratis, baik dalam kegiatan dan aktivitas
ekonomi, serta aktivitas sosial budaya dan politik haruslah berbasis pada
beberapa prinsip dasar yang dikemukakan di atas, juga pada latar belakang sejarah,
dan kemajemukan etnis, sosial, budaya, dan ekonomi yang telah hadir sebelumnya
di setiap desa. Elemen-elemen tatanan, baik yang berupa “elemen lunak” (soft
element) seperti manusia dengan sistem nilai, kelembagaan, dan
teknostrukturnya, maupun yang berupa “elemen keras” (hard element) seperti
lingkungan alam dan sumberdayanya, merupakan entitas yang dinamis yang
senantiasa menyesuaikan diri atau tumbuh dan berkembang.
Dalam bagian “Menimbang” pada UU No. 32 tahun 2004
tentang Otonomi Daerah, disebutkan bahwa otonomi daerah diarahkan untuk
mempercepat terwujudnya kesejahteraan masyarakat melalui peningkatan,
pelayanan, pemberdayaan, dan peran serta masyarakat, serta peningkatan daya
saing daerah dengan memperhatikan prinsip demokrasi, pemerataan, keadilan,
keistimewaan dan kekhususan suatu daerah dalam sistem Negara Kesatuan Republik
Indonesia.
Kita perlu mempelajari apa sesungguhnya makna
filosofis dari prinsip keotonomian? Pada tingkat terendah, otonomi mengacu pada
individu sebagai perwujudan dari hasrat untuk bebas (free will) yang melekat
pada diri-diri manusia sebagai salah satu anugerah paling berharga dari Sang
Pencipta (Basri, 2005). Free will inilah yang memungkinkan individu-individu
menjadi otonom sehingga mereka bisa mengaktualisasikan segala potensi terbaik
yang ada di dalam dirinya secara optimal. Individu-individu yang otonom ini
selanjutnya akan membentuk komunitas yang otonom, dan akhirnya bangsa yang
mandiri serta unggul. Jadi, pada hakekatnya, individu-individu yang otonom
menjadi modal dasar bagi perwujudan otonomi daerah yang hakiki. Dengan dasar
ini, maka penguatan otonomi daerah harus membuka kesempatan yang sama dan
seluas-luasnya bagi setiap pelaku, bagi setiap individu.
Satu konsep yang dekat dengan otonomi daerah adalah
“local government”. Menurut Wolman and Goldsmith (1990), Local Government
Administration (LGA) adalah: “…. the government’s ability to have an
independent impact on the welfare of the residents of the local jurisdiction”.
Jadi, disini ditekankan kepada perlunya mencapai kemampuan dan kemandirian
masyarakat. Sedikit lebih luas, Boyne (1996) mendefiniskan menjadi: “… powers
the ability to innovate, experiment, and develop policies that can vary by
jurisdiction”. Selanjutnya, Kirlin (1996) merubah “government” menjadi “governance”,
dan mendefinisikannya sebagai “… capacity as the ability to make and carry
through collective choices for a geographically defined group of people”. Pada
definisi Kirlin terlihat perlunya keterlibatan masyarakat setempat. Kemampuan
pemerintah terbentuk melalui dukungan institusi-institusi lain seperti aturan
yang konstitutional, pemerintah lain yang selevel, lembaga pengadilan, dan
infrastruktur kewarganegaraan, yang digambarkan dengan luas meliputi
unsur-unsur media massa, asosiasi kewarganegaraan, dan kelompok-kelompok
komunitas (Chapman, 1999).
Dalam sistem apapun, secara prinsip ada tiga bentuk
utama yang dapat dilakukan negara kepada warganya. Secara berurutan adalah
assistance, cooperation, dan service; tergantung kepada potensi dan kondisi
masyarakatnya, terutama kemampuan untuk pemecahan masalah. Dalam assitance,
pemerintah menjadi pelaksana (executing and implementing role). Pada
cooperation, peran negara dan masyarakat seimbang; sedangkan pada pola service,
negara lebih pasif. Otonomi daerah, atau otonomi lokal, merupakan hal yang
penting karena mampu memainkan setidaknya tiga peran yaitu: untuk memaksimumkan
nilai, sebagai lembaga yang memberi peluang kepada akses rakyat terhadap
pemerintah, dan sebagai kompetitor terhadap lembaga lain sehingga
kondisi-kondisi efisiensi dapat dicapai. Karena beragamnya persoalan antar
wilayah maka tak ada pendekatan yang “one solution fits all” dalam pengembangan
kelembagaan. Secara konseptual, otonomi daerah merupakan wadah yang baik untuk
berkembangnya civil society dan menjamin berjalannya mekanisme checks and
balances antara pemerintah dengan warganya.
B.Pengembangan kelembagaan sebagai bentuk pemberdayaan
Pemberdayaan (empowerment) yang berasal dari kata
dasar “empower” bermakna sebagai “to invest with power, especially legal power
or officially authority”, atau “… taking control over their lives, setting
their own agendas, gaining skill, building self-confidence, solving problems
and developing self-reliance”. Pemberdayaan dapat dilakukan terhadap individual,
kelompok sosial, maupun terhadap komunitas.
Dari sisi paradigma, pemberdayaan lahir sebagai
antitesis dari paradigma developmentalis. Dalam Payne (1997), disebutkan bahwa
pada intinya pemberdayaan adalah “to help clients gain power of decision and
action over their own lives by reducing the effect of social or personal blocks
to exercising existing power, by increasing capacity and self confidence to use
power and by transferring power from the environment to clients”. Pemberdayaan
mengupayakan bagaimana individu, kelompok, atau komunitas berusaha mengontrol
kehidupan mereka sendiri dan mengusahakan untuk membentuk masa depan sesuai
dengan keinginan mereka. Inti utama dari pemberdayaan adalah tercapainya
“kemandirian”.
Bank Dunia selama ini telah memberi perhatian besar
kepada tiga hal untuk meningkatkan hasil-hasil pembangunan, yaitu “empowerment,
social capital, and community driven development (CDD)”. Ketiga konsep ini
menekankan kepada inklusifitas, partisipasi, organisasi, dan kelembagaan. Empowerment
merupakan hasil dari aktifitas pembangunan, social capital dapat diposisikan
sekaligus sebagai proses dan hasil, sedangkan CDD berperan sebagai alat
operasional (World Bank, 2005b).
Konsep empowerment mendapat penekanan yang
berbeda-beda di berbagai negara, sesuai dengan kondisi dan kebutuhan mereka.
Satu hal yang esensial dalam pemberdayaan adalah ketika individu atau
masyarakat diberikan kesempatan untuk membicarakan apa yang penting untuk
perubahan yang mereka butuhkan. Ini akan berimplikasi kepada sisi supply dan
demand tentang pembangunan, perubahan lingkungan dimana masyarakat miskin
hidup, dan membantu mereka membangun dan mengembangkan karakter mereka sendiri.
Pemberdayaan bergerak mulai dari masalah pendidikan dan pelayanan kesehatan
kepada persoalan politik dan kebijakan ekonomi. Pemberdayaan berupaya
meningkatkan kesempatan-kesempatan pembangunan, mendorong hasil-hasil
pembangunan, dan memperbaiki kualitas hidup manusia.
Tidak ada satu bentuk kelembagaan khusus untuk
pemberdayaan, namun ada elemen-elemen tertentu agar upaya pemberdayaan dapat
berhasil. Beberapa kunci dalam pengembangan kelembagaan untuk pemberdayaan
adalah: adanya akses kepada informasi, sikap inklusif dan partisipasi,
akuntabilitas, dan pengembangan organisasi lokal.
Terdapat dua prinsip dasar yang seyogyanya dianut di
dalam proses pemberdayaan. Pertama, adalah menciptakan ruang atau peluang bagi
masyarakat untuk mengembangkan dirinya secara mandiri dan menurut cara yang
dipilihnya sendiri. Kedua, mengupayakan agar masyarakat memiliki kemampuan
untuk memanfaatkan ruang atau peluang yang tercipta tersebut.
Kebijakan ini diterjemahkan misalnya di bidang ekonomi
berupa peningkatan aksesibilitas masyarakat terhadap faktor-faktor produksi dan
pasar, sedangkan di bidang sosial politik berupa tersedianya berbagai pilihan
bagi masyarakat (choice) untuk menyalurkan aspirasinya (voice). Upaya
pemberdayaan masyarakat desa dalam kehidupan politik dan demokrasi, diperlukan
cara pandang atau pendekatan baru, karena perubahan yang terjadi pada beberapa
dekade terakhir telah melahirkan berbagai realitas yang tidak mungkin
dimengerti atau dipahami apalagi dikelola dengan menggunakan paradigma atau
cara pandang lama.
C.Pengembangan kelembagaan dalam upaya mewujudkan
kemandirian lokal
Menurut Taylor dan Mckenzie (1992), inisiatif lokal
sangat diperlukan dalam pembangunan pedesaan, baik dari sisi pemerintah maupun
komunitas setempat. Dari sisi pemerintah, inisiatif lokal dibutuhkan apabila
pemerintah belum mampu memberikan pelayanan yang memadai, sementara kemampuan
perencanaan pusat juga dalam kondisi lemah. Dari sisi masyarakat lokal, di
antaranya adalah karena masih banyaknya sumberdaya yang belum termanfaatkan,
yang dipandang akan lebih efektif apabila menggunakan strategi lokal.
Pemberdayaan berarti mempersiapkan masyarakat desa untuk memperkuat diri dan
kelompok mereka dalam berbagai hal, mulai dari soal kelembagaan, kepemimpinan,
sosial ekonomi, dan politik dengan menggunakan basis kebudayaan mereka sendiri.
Pendekatan pembangunan melalui cara pandang
kemandirian lokal mengisyaratkan bahwa semua tahapan dalam proses pemberdayaan
harus dilakukan secara tendesentralisasi. Upaya pemberdayaan dengan prinsip
sentralisasi, deterministik, dan homogen adalah hal yang sangat dihindari.
Karena itu upaya pemberdayaan yang berbasis pada pendekatan desentralisasi akan
menumbuhkan kondisi otonom, dimana setiap komponen akan tetap eksis dengan
berbagai keragaman (diversity) yang dikandungnya. Upaya pemberdayaan yang
berciri sentralisitik tidak akan mampu memahami karakteristik spesifik tatanan
yang ada, dan cenderung akan mengabaikan karakteristik tatanan. Sebaliknya
upaya pemberdayaan yang dilakukan secara terdesentralisasi akan mampu
mengakomodasikan berbagai keragaman tatanan.
Cara pandang “kemandirian lokal” adalah suatu
alternatif pendekatan pembangunan yang dikembangkan dengan berbasis pada
pergeseran konsepsi pembangunan, serta pergeseran paradigma ilmu pengetahuan.
Oleh karena itu diharapkan dapat diposisikan sebagai pendekatan pembangunan
bangsa Indonesia, atau minimal sebagai masukan bagi perumusan pendekatan dan
atau paradigma pembangunan Indonesia.
Pemberdayaan desa khususnya pemberdayaan politik
masyarakat desa, mengandung dua pendekatan yang seakan-akan saling bertolak
belakang atau merupakan paradox pemberdayaan desa. Pada satu sisi, pemberdayaan
desa seyogyanya diletakkan pada upaya untuk meningkatkan kualitas harmoni
kehidupan seluruh warga desa, akan tetapi pada sisi yang lain pemberdayaan
dimaksudkan untuk meningkatkan kualitas interkoneksitas (fungsional) antara
satu tatanan dengan tatanan yang lainnya yang berada di luar tatanan desa.
Interkoneksitas seperti ini memiliki potensi besar untuk merusak kondisi
harmoni yang dimaksudkan sebelumnya. Berdasarkan kondisi paradoxal ini maka
penyusunan skenario yang berlaku umum (grand scenario) di seluruh wilayah
sangat tidak mungkin. Kebijaksanaan pemberdayaan desa haruslah bersifat
kasuistik, dan kontekstual, yang disusun secara otonom masing-masing daerah.
Perumusan format upaya pemberdayaan masyarakat desa
haruslah berbasis pada prinsip dasar, yaitu bagaimana menciptakan peluang bagi
masyarakat untuk meningkatkan kemampuan dan kemandirian masyarakat untuk
memanfaatkan peluang tersebut. Dalam konteks politik, prinsip ini merupakan
wujud pemberian pilihan (choice) kepada masyarakat dan juga meningkatkan
kemampuan masyarakat untuk menyuarakan aspirasinya (voice). Implementasi
prinsip ini jelas tidak harus baku atau standar, akan tetapi akan tergantung
pada kondisi masing-masing masyarakat.
Kemandirian lokal menunjukkan bahwa pembangunan lebih
tepat bila dilihat sebagai proses adaptasi-kreatif suatu tatanan masyarakat
dari pada sebagai serangkaian upaya mekanistis yang mengacu pada satu rencana
yang disusun secara sistematis, Kemandirian lokal juga menegaskan bahwa
oraganisasi seharusnya dikelola dengan lebih mengedepankan partisipasi dan
dialog dibandingkan semangat pengendalian yang ketat sebagaimana dipraktekkan
selama ini (Amien, 2005).
10.
Pendekatan
prespektif dalam pengembangan kelembagaan
Berdasarkan kajian
Anantanyu (2009),
langkah-langkah tindakan strategis
dalam mengembangkan
kelembagaan petani dapat dilakukan sebagai berikut:
1.Peningkatan dukungan
penyuluhan pertanian.
a.Meningkatkan
kompetensi penyuluh dalam memfasilitasi
petani, meliputi: penguasaan materi,
kemampuan berkomunikasi,
sikap terhadap sasaran, serta adanya komitmen terhadap
profesi.
-Penggunaan
pendekatan penyuluhan yang tepat
sesuai dengan karakteristik khalayak sasaran,
meliputi: kesesuaian
informasi, ketepatan metode, penggunaan berbagai teknik
penyuluhan, dan penggunaan media
dalam penyuluhan
b.Penguatan
kelembagaan penyuluhan
pertanian, meliputi: ketersediaan programa penyuluhan,
kemudahan akses, dukungan fasilitas
yang diperlukan, dan pelaksanaan program.
2.Peningkatan
peran pihak luar
a. Memfasilitasi adanya
dukungan kepemimpinan lokal.
b. Menjembatani peran
pihak luar (pemerintah, swasta,
dan kelembagaan lain).
3.
Peningkatan kedinamisan kelompok sebagai kelompok
pembelajar, melalui:
a.
Peningkatan
pemahaman tujuan kelompok.
b.
Mengembangkan struktur.
c.
Mengembangkan fungsi tugas.
d.
Meningkatkan
pembinaan dan pengembangan
kelompok.
e.
Meningkatkan kekompakan kelompok.
f.
Mendorong kekondusifan
suasana kelompok.
g.
Menciptakan ketegangan kelompok.
h.
Mendorong keefektifan kelompok.
4.
Peningkatan
kapasitas petani, dilakukan melalui:
a.
Peningkatan
pendidikan, baik formal maupun
non-formal, bagi petani
yang mendukung bidang usaha
atau agribisnis.
b.
Memfasilitasi
dalam berbagai kegiatan agribisnis.
c.
Mendorong kemampuan berusaha untuk meningkatkan
pendapatan.
d.
Memfasilitasi
penyediaan sarana kegiatan agribisnis bagi petani.
e.
Menyediakan
sumber-sumber belajar termasuk
informasi yang diperlukan oleh petani.
5.
Peningkatan
partisipasi petani dalam kelembagaan petani.
Partisipasi anggota dalam kelembagaan
dimaknai sebagai pilihan anggota
komunitas secara aktif untuk berperan
mengaktualisasikan diri dalam usaha
memperbaiki kualitas hidup.
Upaya peningkatan
partisipasi petani dalam kelembagaan dilakukan
dengan proses-proses yang
bertahap sesuai dengan tingkat perkembangan
kelembagaan petani, yangmeliputi:
a. Penyadaran, antara
lain: penumbuhan pemahaman terhadap
masalah secara spesifik, Penyediaan
sarana sosial, menumbuhkan kepemimpinan
lokal, menumbuhkan
kerjasama, membangun wawasan tentang
kehidupan bersama,
menciptakan komitmen kebersamaan, dan meningkatkan kemampuan berusahatani dankemampuan sosial.
b. Pengorganisasian, antara
lain: peningkatan kemampuan manajemen sumberdaya, peningkatan
kemampuan pengambilan
keputusan bersama, pengembangan kepemimpinan, dan penyediaan sarana
dan prasarana kelembagaan
c. Pemantapan, antara
lain: pemantapan terhadap visi
kelembagaan, peningkatan kemampuan
kewirausahaan, dan
membangun jaringan dan
kerjasama antar kelembagaan